Islamedia - Desakan organisasi massa Islam soal evaluasi keberadaan Densus 88 dalam menangani kasus teroris bak gayung bersambut. Peserta seminar di Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sabtu (2/3), memanfaatkan momen untuk mencari informasi lebih banyak terkait penanganan kasus terorisme di Indonesia.
Tak sedikit peserta yang bertanya tentang tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) petugas keamanan sesuai porsi masing-masing. Bahkan, ada juga yang mempertanyakan, terkait wacana pembubaran Detasement Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri. Penilaian ini didasarkan ada dugaan kuat pelanggaran HAM (HAK Azasi Manusia) dalan praktik lapangan.
Wakil Ketua Bidang Akademik STIK (Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian)–PTIK (Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian), Brigjen Pol Syafrizal Ahiar, menilai, keberadaan Densus 88 masih dibutuhkan. Tetapi, hal itu perlu adanya pemahaman dari masyarakat mengenai cara kerja dan tugas Densus 88.
''Pemahaman itulah yang diharapkan dapat diterima masyarakat. Kami menilai Densus 88 masih dibutuhkan di Indonesia,'' tambah Brigjen Pol Syafrizal Ahiar.
Syafrizal memaparkan, kerja intelijen yang terbagi dalam empat metode. Metode tersebut meliputi metode observasi, interview, survival, dan undercover. ''Metode itulah yang menjadi dasar Densus 88 menjalankan tugasnya.''
Dalam penanganan kasus terorisme, kata dia, semua stakeholder berperan. Dimulai dari observasi, kemudian interview menggali informasi kepada yang bersangkutan. Jika itu tidak cukup, maka dilakukan survival dengan mengikuti objek. Sementara, dalam keadaan yang cukup klimaks, dilakukan metode /undercover/ atau menyusup,” papar Syafrizal.
Pembicara lain, Prof Dr Khudzaifah Dimyati, juga menyampaikan materi produk politik anterorisme yang bisa mencegah tindakan extraordinary crime. Salah satu solusi untuk memotong tindakan /extraordinary crime/, menurut Prof Dimyanti, adalah hadirnya seperangkat regulasi sebagai alat legitimasi. [rol]
+ komentar + 1 komentar
sabung ayam live
Posting Komentar